Saat-saat ketika Seseorang Harus Diingatkan bahwa Amalnya Harus karena Allah Semata
Ketika seseorang beramal, misalnya memberi atau menolong orang lain, ada orang yang kecewa karena orang yang diberi atau ditolongnya tidak tahu diri atau tidak tahu terima kasih. Kekecewaan ini manusiawi. Banyak kasus, setelah kita memberi, membantu atau menolong seseorang, orang yang dibantu itu tidak mengucapkan terima kasih, malah ada yang bersikap sebaliknya. Dalam kasus seperti ini iman dan keikhlasan kita benar-benar diuji. Seharusnya, sikap ikhlas yang murni tidak perduli terhadap sikap dan reaksi apapun dari orang yang kita tolong.
Menolong atau membantu sepatutnya harus benar-benar karena Allah, bukan karena seseorang termasuk orang yang kita bantu itu. Dibawah ini adalah nasihat tentang kekecewaan yang tidak perlu terjadi, kekecewaan yang perlu diabaikan atau jangan difikirkan, dalam rangka membangun keikhlasan yang benar. Barangsiapa tidak perduli terhadap sikap orang yang ditolong setelah dia menolongnya, imannya benar-benar karena Allah SWT. Ketika seseorang beramal harus diingatkan bahwa amalnya harus semata-mata karena Allah, bukan karena orang yang ditolong. Ini memang sulit tapi harus dilatih agar kita bisa meningkatkan kualitas keikhlasan kita di mata Allah SWT.
1. Kecewa karena Tidak
Kita sering berbuat sesuatu kebaikan kepada orang lain. Misalnya memberikan pertolongan. Kita memberi uang, membantu berupa benda atau barang, memberikan perhatian, memberikan dorongan, saran dan masukan dan seterusnya. Orang yang ditolong atau dibantu pun merasakan ditolong, merasakan kebaikan kita. Ia mendengarkan dan membenarkan kata-kata dan nasehat kita. Tapi ternyata, ia tidak melaksanakannya, tidak nurut, tidak mengikuti saran dan keinginan kita padahal di depan kita ia mendengarkan, takzim dan hormat. Pada pelaksanannya, ia tetap saja mengikuti pikirannya sendiri. Membandel. Pertolongan, bantuan dan saran-saran kita tidak dilaksanakannya. Oleh sikap orang seperti ini kita tentu kecewa. Ini adalah sikap kecewa karena “tidak.” Tapi, kita harus segera meluruskan niat bahwa kita membantu orang hanya karena Allah saja, bukan karena ingin diturut atau ditaati oleh orang yang kita tolong. Kewajiban kita menolong, bahwa seseorang menerima pertolongan atau tidak bukan urusan kita, itu urusan dia sepenuhnya. Hasilnya, kita serahkan sepenuhnya kepada Allah. Kita tidak boleh kecewa karena “tidak”: tidak berterima kasih, tidak nurut, tidak melaksanakan dst.
2. Kecewa karena Tiada
Kita juga mungkin kecewa pada orang yang sering kita beri nasehat, kita beri saran berulang-ulang, kita arahkan cara berfikir dan bertindaknya, tapi “tiada” bekasnya sedikitpun. Tetap saja, tiada perubahan, tiada peningkatan dan tiada kemajuan pada dirinya. Omongan kita hanya didengarkan tapi tiada bekas dan pengaruh dalam dirinya. Oleh kenyataan seperti ini kita harus segera mengembalikan kekecewaan kita kepada Allah SWT. Hanya karena Allah saja kita membantu orang bukan karena berharap hasilnya memuaskan. Inilah yang tidak boleh terjadi yaitu kecewa karena tiada.
3. Kecewa karena Sia-sia
Ada juga orang yang mendengarkan nasehat, saran dan masukan kita, ia melaksanakannya tapi tidak tepat momennya, jadilah sia-sia. Ia faham dan mengerti apa yang kita sarankan tapi tidak tepat waktu melaksanakannya, tidak tepat caranya, tidak tepat konteksnya, atau tidak mau melaksanakannya. Akhirnya pertolongan dan bantuan kita pun menjadi sia-sia. Kita kecewa karena hasilnya tidak ada, sia-sia. Kembali, kita harus menyerahkan urusan seperti ini kepada Allah agar kita ikhlas memberi pertolongan kepada orang lain.
4. Kecewa karena Hampa
Mungkin kita pernah memberikan bantuan pada seseorang, berupa materi, uang, simpati atau dorongan psikologis tapi tidak ada arti dan manfaatnya baik buat yang menolongnya maupun yang ditolongnya. Semuanya jadi hampa. Inilah maksud kecewa karena hampa. Mungkin kita ikhlas menolong tapi dengan cara yang keliru, tanpa kita sadari. Atau kita habis-habisan membantu orang yang bebal, orang yang hatinya sudah tertutup dan terkunci, orang yang kesadarannya mati dst. Tolong menolong seperti ini ujung-ujungnya adalah kehampaan. Kita beramal merasa sudah dengan perhitungan yang baik dan tepat, dengan strategi yang tepat agar bermanfaat, agar ada hasilnya, tapi ternyata tetap saja tidak ada perubahan, tidak ada hasilnya, hampa. Lalu kita berfikir buat apa melakukan sesuatu yang jelas-jelas tidak ada manfaatnya. Nah, orang yang kecewa karena hampa ini harus diingatkan agar mengembalikan niatnya karena Allah SWT. Orang yang beramal tidak boleh kecewa karena hampa, beramal saja karena Allah biar tidak hampa.
5. Kecewa karena Sebaliknya
Ini adalah perbuatan kita menolong, berbuat baik pada seseorang, tapi hasilnya malah sebaliknya yaitu merugikan dan mencelakakan diri kita sendiri. Orang bukan membalas pertolongan dan kebaikan kita tapi malah membenci, memusuhi dan antipati. Mungkin karena salah sangka, curiga, atau memang akhlaknya buruk yaitu tidak tahu diri. Istilah Sundanya “nulungan anjing kadempet” (menolong anjing yang kejepit, setelah ditolong malah menggigit). Pasti kita kecewa oleh sikap orang seperti ini. Tapi disinilah keikhlasan kita benar-benar diuji. Karenanya, kita mesti membiasakan beramal, berbuat sesuatu, menolong orang lain karena Allah semata-mata tanpa berharap hasil. Hasil biar saja itu urusan Allah sepenuhnya.[]
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ciri-ciri Orang yang Memberikan Sesuatu Tanpa Berharap Balasan
Keikhlasan adalah bukti keimanan.
Semakin tinggi keikhlasan seseorang dalam beramal semakin tinggi derajat imannya di sisi Allah. Kita selama ini mungkin berpandangan, ikhlas itu sulit diukur, hanya hati yang bersangkutan dan Allah SWT saja yang tahu persis keikhlasan seseorang. Itu benar bila kita tidak tahu bagaimana cara mengukurnya. Tapi keikhlasan bukan tidak bisa diukur. Berbuat ikhlas dalam beramal atau memberikan sesuatu betul-betul tanpa berharap balasan (kecuali ridha Allah saja) ada ukurannya atau ada ciri-cirinya. Di bawah ini adalah ajaran Kitab Paradigma Hikmah Lima tentang rumus ciri-ciri orang yang bila memberikan sesuatu berarti ia betul-betul ikhlas, tanpa berarap balasan.
i
1. Bukan Miliknya
Dalam Islam diajarkan bahwa segala sesuatu yang kita miliki pada hakikatnya bukan milik kita, melainkan milik Allah semata. Apapun yang kita “miliki” hanyalah titipan Allah kepada kita. Kita harus meyakini bahwa uang, harta, kekayaan, nyawa, hidup, keluarga dan sebagainya, semuanya milik Allah, semuanya hanya titipan. Kalau semuanya hanya titipan, bukan milik kita, tetapi milik Allah, lalu mengapa harus merasa milik kita sendiri? Mengapa harus tidak ikhlas dengan apa yang terjadi pada kita? Mengapa harus kikir kepada orang lain? Mengapa harus menahan-nahan dan menguasai? Orang menjadi kikir karena lupa bahwa apa yang ada padanya seolah-olah miliknya. Orang akan memiliki sifat ikhlas, bila ia menghidupkan penghayatan bahwa semua yang “dimilikinya” pada hakekatnya adalah milik Allah, bukan milik dirinya, suatu saat, sewaktu-waktu, ketika titipan itu diambil kembali oleh pemiliknya melalui kehilangan, pemberian, atau kematian pemiliknya dst, ia akan tidak merasa kehilangan apa-apa, termasuk hidupnya, nyawanya, nasibnya, apalagi harta yang rendah nilainya.
2. Bukan atas Namanya
Ciri kedua orang yang pemberiannya ikhlas adalah “bukan atas namanya.” Ketika seseorang beramal, menyumbang, infaq dan shadaqah, ia menyumbang bukan atas namanya tetapi atas nama pemiliknya, yaitu Allah. Jelas sekali logikanya, kalau apa yang ada pada kita adalah titipan Allah, milik Allah, apakah ketika kita memberikannya pada orang lain, menyumbangkannya pada yang membutuhkan, menshadaqahkannya kepada yang membutuhkan, kita mengaku-ngaku sebagai pemiliknya? Bukankah itu sikap tidak tahu diri, telah mengaku-ngaku sesuatu sebagai miliknya padahal sesungguhnya milik Allah. Orang yang ikhlas sadar betul ketika menyumbangkan sesuatu tidak mengatasnamakan dirinya, tetapi mengatasnamakan pemiliknya. Jadi, orang yang ikhlas dalam beramal tidak akan menonjol-nonjol diri, tidak akan menyebut-nyebut namanya, ia akan merasa malu kalau disebut namanya, ia lebih menyembunyikan atau tidak membesar-besarkan namanya karena kesadarannya bahwa apa yang diberikannya itu bukan miliknya.
3. Bukan Penerima Balasannya
Ciri ketiga adalah “bukan penerima balasannya.” Sebagai konsekuensi dari sikap yang kedua, Anda tidak merasa sebagai penerima balasannya ketika memberikan sesuatu kepada orang lain sebagai sumbangan, sebagai shadaqah dan sebagainya. Ketika kita memberikan sesuatu kepada orang lain dan kita, dalam hati, berharap balasannya, walaupun dari Allah, berarti kita belum ikhlas. Wong yang kita berikan bukan milik kita, mengapa kita harus mengharapkan balasan? Orang yang ikhlas, cirinya, ketika ia memberikan sesuatu, tidak berharap balasan dari siapapun, karena ia merasa bukan pemiliknya. Kalau pun balasan itu ada, akan diberikannya kepada pemiliknya karena pemiliknya itulah yang berhak mendapat balasan, bukan orang yang dititipinya.
4. Bukan yang Mengaturnya
Keempat, “bukan yang mengaturnya.” Ciri selanjutnya sebuah amal yang ikhlas adalah seseorang merasa dan meyakini bahwa hidupnya, nasibnya, harta yang dimilikinya, kekayaan yang ada padanya, apa yang diberikannya, bukan dia yang mengaturnya, tetapi Allah sebagai pemiliknya. Jelas dan logis sekali. Seseorang yang dititipi, dimanapun, hanya berhak menunggu dan memakainya (bila diizinkan), adapun penggunaan dan pengaturannya hanya pemiliknya yang menentukan. Misalnya, mau disimpan, mau dijual, mau diberikan, mau dibagikan, atau mau dibuang, semuanya terserah pemiliknya. Orang yang ikhlas tahu betul dan membuktikan bahwa pengaturan hartanya, kekayaannya, hidupnya, ditentukan oleh pemiliknya. Allah mengaturnya melalui apa? melalui ajaran agama, yaitu melalui ajaran zakat, infaq dan shadaqah. Bila Sang Pemilik memerintahkan untuk mengeluarkan zakat, infak atau shdaqah dari harta yang ada pada kita, ya keluarkan tanpa ragu dan bimbang. Kalau semua itu kita merasa bukan milik kita, apa susahnya melakukan itu? Jadi, sebetulnya ringan saja “memiliki” harta itu, kalau kita tahu dan menghayati posisi dan kedudukannya dengan benar. Sekali lagi, banyak orang yang rudet, ruwet, rakus dan stress dengan kepemilikan hartanya, atau apa saja yang ada pada dirinya, karena ia merasa miliknya sendiri. Ia lupa bahwa itu semua adalah titipan.
5. Hanya Memeliharanya
Terakhir, orang ikhlas dicirikan oleh sikapnya yaitu “hanya memeliharanya” terhadap apa saja yang dititipkan Allah kepadanya termasuk jiwanya, hidupnya, nasibnya dan hartanya. Ia tidak merasa memilikinya dan tidak menguasainya. Seorang Muslim yang sudah mencapai ikhlas merasa betul status dirinya terhadap apa yang ada padanya hanyalah memeliharanya. Ada pemilik sesungguhnya yaitu Allah SWT. Karenanya, bila ada orang merasa memiliki hartanya, menentukan sendiri penggunaannya, membuat sendiri aturan seenaknya, misalnya ditumpuk-tumpuk, dihitung-hitung, dipuja-puja, dikoleksi, dibelanjakan untuk kepuasan nafsunya, sesungguhnya ia adalah orang khianat, tidak bisa dipercaya karena melupakan pemiliknya. Karenanya, ketika diambil lagi oleh pemiliknya melalui kehilangan, kecurian, kebakaran dst, ia marah, mencak-mencak dan tidak menerima. Bukankah itu sebuah sikap yang tidak tahu diri?? Wallahu’alam![]
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
AIRMATA RASULULLAH SAW...
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam", kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?"
"Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan.
Seolah-olah bahagian demi! bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia.
Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.
Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
"Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?", tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.
"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu.
"Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu, " kata Jibril.
Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar khabar ini?", tanya Jibril lagi.
"Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"
"Jangan khawatir, wahai Rasul ! Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: "Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik.
Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.
"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?"
Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
"Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.
"Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku."
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, ! Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku"
"peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu."
Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
"Ummatii,ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"
Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu.
Kini, mampukah kita mencintai sepertinya?
Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi
Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.
Mari sahabat - sahabatku di IMF yang beragama muslim untuk selalu mencintai Rosul dan selalu ingat pada saudara-saudara kita yang lemah , Salam Sukses Selalu !!! username : gemabrazil
NB:
Kirimkan kepada sahabat-sahabat muslim lainnya agar timbul kesadaran untuk
mengingat maut dan mencintai Allah dan RasulNya, seperti Aallah dan Rasulnya mencintai kita.
Thursday, May 28, 2009
Tulisan Bagus dari Milis yang saya ikuti
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment